Air mata mengalir semakin deras kala menatap orang
yang paling ia sayangi kehilangan kesadaranya. Hidupnya telah berada pada
cengkraman cakar-cakar kematian. Ia melihat beberapa perawat dan dokter menekan
kuat kuat dada dan berusaha menggerakkan
daging sekepal yang menjadi tanda kehidupan.
“Mas, anaknya?”
“Iya Dok.”
“Sini Mas, bantu ayahnya”
Perasaanya semakin kacau kala kata
kata itu diucapkan. Dia adalah Kayana seorang pemuda yang sedang di rundung
kesedihan yang mendalam. Saat mengetahui ayahnya orang tua satu-satunya yang masih ada saat ibunya
telah mangkat terlebih dahulu sudah tak sadarkan kala di tangani oleh dokter
dalam sebuah rumah sakit.
“Asyhadu an La Ilaha Illa
Allah wa Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”
Kaliamt itu yang
ia berulang kali ucapkan di telinga kanan ayahnya, yang sudah tentu berharap
kesadaran bukan sebuah kematian. Dalam
membisikan kalimat itu sesekali Kayana menatap dua perawat yang berusaha sekuat
tenaga menyadarkan kembali ayahnya. Akan tetapi pandanganya semakin tak
menentuu kala menatap wajah ayahnya yang tanpa sebuah exspresi meski pijat
jantung telah dilakukan. Aliran air matanya semakin menetes deras, dengan bisik
kata syahadat yang tidak pernah berhenti
ia utarakan bahkan hamper puluhan atau bahkan ratusan kali ia utarakan.
Seketika tepukan pundak itu menyadarkanya.
“Maaf Mas, kami
sudah berusaha sekuat tenaga akan tetapi ayahmu tidak bias tertolong lagi”
Tanpa sepatah
kata pun ia sudah tak mampu membalas perkataan dokter tersebut, hanya erangan
tangis dan gelapnya sebuah kehidupan yang ia rasa, bahkan perasaanya seakan
jatuh dan jatuh kembali. Bagaimana tidak
luka lama saat ibunya meninggal 5 tahun yang lalu baru saja mongering, kini di
robek lagi dan bahkan dibumbuhi sebongkah garam sebagi penyedap rasa keperihan
dalam hatinya.
“Ya Tuhan, apa
Tuhan, kenapa kau ambil semua sayap-sayapku dari dunia ini, lantas dengan siapa
aku harus hidup kedepan, tolong Tuhan hidupkan ayahku sekali lagi”
Bisik dan akal
kewarasanya pun seakan hilang, ia bagai
seseorang yang bernyawa namun tak punya nyawa, Lemas, lelah, perih, tak
berdaya, bahkan serasa ingin mati saja.
Sekali lagi ia pandangi wajah ayahnya, dan saat itu juga ia menangis
kembali.
Sampai suatu
ketika keluarga Kayana pun dating, dengan puluhan ribu janji mereka berusaha
menengakan Kayana dari tnagisanya.
“Sudah Kay,
masih ada keluargamu jangan sedih. Biar ayahmu lancer dalam perjalanannya
pulang menhadap ilahi.”
“Kau sayang sama
ayahmu Kay”
Kayana tak mampu
menjawab, bagaimana ia harus menjawab, tanpa ditanyapun seharusnya mereka tahu,
namun kata-kata itu terus diulang dan di ulang.
“Iya aku sangat
sayang dengan ayah.”
“Kalau benar
kamu sayang yang sudah, ikhlaskan, doakan, dan sudah yok kita bawa jenazah
Ayahmu pulang”
Hanya anggukan
sebagai persetujuan dari Kayana, sesampainya di rumah ternyata rumahnya sudah
di datangi banyak orang, entah bagaimana dan siapa yang member tahu akan hal
itu. Karena kondisi tengah malam yang dingin dan seharusnya banyak orang yang
masih terjaga.
Keesokan
harinya, puluhan orang bahkan ratusan orang berdatangan dirumahnya, membawa doa
dan penguat untuk Kayana sampai acara pemakaman ayahnya pun dilaksanakan.
Tujuh hari
setelah meninggal Ayahnya , belum terasa
kesepian, karena di tujuh hari setelah meninggal ayahnya masih banyak orang
dirumahnya, yang terkadang member nasehat, serta mempersiapkan acara genduri di
malam hari.
Waktu semakin berlalu, di empat puluh hari
kemudian perhatian semakin terkikis, disanalah kayana mulai merasa keasingan
hidup, meski masih saja ada beberapa
orang yang masih perhatian terhadapnya. Sampai seratus hari berlalu di sana letak puncak bagaimana ia
harus benar-benar menenun kehidupanya, karena sebuah perhatian yang dulu
dijanjikan seketika hilang, dan disanalah letak bagaimana sebuah pepatah benar
benar-berlaku padanya yakni kata sebatang kara.
Meski demikian
Kayana tak menyalahkan perginya orang-orang, karena mereka pasti punya
kehidupanya sendiri. Namun rasa asing
bercampur rasa iri setiap kali ia keluar rumah dan menatap bahagianya orang-orang
itu yang membuatnya pulang kembali kerumah, ia takut dirinya semakin protes
dengan Tuhan.
Mulai saat itu
ia lebih sering bercerita di depan cermin dan menatap dunia di balik lubang
jendela kamarnya. Saat ia menatap yang
membuatnya iri ia tarik tirai untuk menutupi, setiap kali ia melihat sesuatu
yang membuatnya syukur ia buka tirai itu. Walau seharusnya manusia adalah
mahluk social anamun menurut Kayana kesendirian adalah sebuah hidup tanpa
resiko, dan jendela adalah lubang terbaik untuk menatapnya tentang hidup.
Nantikan kisah Pemuda Jendela II, segera..............
Data Diri Penulis :
Nama : Muid Sidik
Nama Pena : Pasir Tenggelam
Facebook : Muid Sidik
Ig : muid_sidik
Data Diri Penulis :
Nama : Muid Sidik
Nama Pena : Pasir Tenggelam
Facebook : Muid Sidik
Ig : muid_sidik