Rabu, 21 Januari 2015

tentang: prinsip dasar oprasional perbankan syariah

Prinsip Dasar Operasional Perbankan Syariah
Sistem perbankan syariah adalah sistem perbankan yang menerapkan prinsip bagi hasil yang saling menguntungkan bagi bank dan nasabah. Sistem perbankan syariah yang dalam pelaksanaannya berlandaskan pada syariah (hukum) Islam, menonjolkan aspek keadilan dan kejujuran dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi dan menghindari kegiatan spekulatif dari berbagai transaksi keuangan. Lebih jauh lagi, kemanfaatannya akan dinikmati tidak hanya oleh umat Islam saja, tetapi dapat membawa kesejahteraan semua kalangan masyarakat (rahmatan lil alamin).

Prinsip Perbankan Syariah
Sistem ekonomi Islam akan menjadi dasar beroperasinya Bank Syariah yang paling menonjol adalah tidak mengenal konsep bunga uang dan yang tidak kalah pentingnya adalah untuk tujuan komersial Islam tidak mengenal peminjaman uang tetapi adalah kemitraan/kerjasama (mudharabahdan musyarakah) dengan prinsip bagi hasil, sedang peminjaman uang hanya dimungkinkan untuk tujuan sosial tanpa adanya imbalan apapun.
Didalam menjalankan operasinya, Bank Syariah memiliki fungsi  :
1.  Sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi atas dana-dana yang dipercayakan oleh pemegang rekening investasi / deposan atas dasar prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan syariah dan kebijakan investasi bank.
2.  Sebagai pengelola investasi atas dana yang dimiliki oleh pemilik dana (sahibul maal) sesuai dengan arahan investasi yang dikehendaki oleh pemilik dana (dalam hal ini bank bertindak sebagai manajer investasi)
3.  Sebagai penyedia jasa lalu lintas pembayaran dan jasa-jasa lainnya sesuai dengan prinsip syariah
Dari fungsi tersebut maka produk bank Islam akan terdiri dari :
1.      Prinsip Mudharabah
Perjanjian antara dua pihak dimana pihak pertama sebagai pemilik dana (sahibul maal) dan pihak kedua sebagai pengelola dana (mudharib) untuk mengelola suatu kegiatan ekonomi dengan menyepakati nisbah bagi hasil atas keuntungan yang akan diperoleh, sedangkan kerugian yang timbul adalah risiko pemilik dana kecuali mudharib melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian. Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepadamudharib maka mudharabah dibedakan menjadi : 
·         Mudharabah mutlaqah, dimana mudharib diberikan kewenangan sepenuhnya untuk menentukan pilihan investasi yang dikehendaki,
·         Mudharabah muqayyaddah, dimana arahan investasi ditentukan oleh pemilik dana sedangkan mudharib bertindak sebagai pelaksana/pengelola.
2.      Prinsip Musyarakah
Perjanjian antara pihak-pihak untuk menyertakan modal dalam suatu kegiatan ekonomi dengan pembagian keuntungan atau kerugian sesuai nisbah yang disepakati. Musyarakah dapat bersifat tetap atau bersifat temporer dengan penurunan secara periodik atau sekaligus diakhir masa proyek.

3.      Prinsip Wadi’ah
Adalah titipan dimana pihak pertama menitipkan dana atau benda kepada pihak kedua selaku penerima titipan dengan konsekuensi titipan tersebut sewaktu-waktu dapat diambil kembali, dimana penitip dapat dikenakan biaya penitipan.Berdasarkan kewenangan yang diberikan maka wadiah dibedakan menjadi : 

·         Wadi’ah yad dhamanah, yang berarti penerima titipan berhak mempergunakan dana/barang titipan untuk didayagunakan tanpa ada kewajiban penerima titipan untuk memberikan imbalan kepada penitip dengan tetap pada kesepakatan dapat diambil setiap saat diperlukan, contoh Giro, Tabungan, Deposito.
·         Wadi’ah Amanah tidak memberikan kewenangan kepada penerima titipan untuk mendayagunakan barang/dana yang dititipkan, contoh Safe Deposite Box (SDB).
·          
4.      Prinsip Jual Beli terdiri dari :
1.      Murabahah
Akad jual beli antara dua belah pihak dimana pembeli dan penjual menyepakati harga jual yang terdiri dari harga beli ditambah ongkos pembelian dan keuntungan bagi penjual. Nasabah membayar harga barang pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
2.      Salam
Pembelian barang dengan pembayaran dimuka dan barang diserahkan kemudian
3.      Ishtisna
Pembelian barang melalui pesanan dan diperlukan proses untuk pembuatannya sesuai dengan pesanan pembeli dan pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.

            Jasa-Jasa :
0.      Ijarah
Akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri, bila terdapat kesepakatan pengalihan pemilikan pada akhir masa sewa disebutIjarah mumtahiyah bit tamlik (IMBT).
1.      Wakalah
Pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.
2.      Kafalah
Jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul ‘anhu, ashil), dan penanggung dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan.
3.      Sharf
Transaksi jual beli mata uang, baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis dengan penyerahan segera/spot berdasarkan kesepakatan harga sesuai dengan harga pasar pada saat pertukaran

            Prinsip Kebajikan
Yaitu penerimaan dan penyaluran dana kebajikan dalam bentuk zakat infaq shodaqah (ZIS) dan lainnya, serta penyaluran qardul hasan yaitu penyaluran dalam bentuk pinjaman untuk tujuan menolong golongan miskin dengan penggunaan produktif tanpa diminta imbalan kecuali pengembalian pokok hutang.


tentang: tilawah Quran dan adab-adabnya

Tilawah Al Qur’an Dan Adab-adabnya

MAKNA AL-QUR’AN
Secara bahasa Al-Qur’an berarti bacaan; kumpulan khabar-khabar dan hukum-hukum. Sedangkan secara syari’at, Al-Qur’an merupakan kalamullah Ta’ala yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa :
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepadamu (Muhammad) sebuah Al-Qur’an dengan sebenar-benarnya turun.” (Al-Insaan: 23).


Al-Qur’an Al-Karim adalah undang-undang yang menghimpun hukum-hukum Islam. Sebagai sumber dari segala sumber hukum, Al-Qur’an menjadi sumber yang melimpahi kebaikan dan hikmah pada kalbu-kalbu yang beriman. Al-Qur’an merupakan jalan yang paling utama untuk digunakan oleh orang yang beribadah dengan cara membacanya untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.


KEWAJIBAN TERHADAP AL-QUR’AN
Seorang hamba yang talah menyatakan dirinya muslim dan beriman kepada Allah, MalaikatNya, Kitab-kitabNya dan rukun iman lainnya, maka ia mempunyai kewajiban terhadap Al-Qur’an, yang merupakan salah satu dari kitan-kitab Allah Ta’ala. Kewajiban-kewajiban itu nantara lain:
1. Beriman terhadap Al-Qur’an. Konsekuensi pertama keimanan seorang mukmin terhadap Al-Qur’an adalah mempelajarinya, membacanya sekaligus men-tadabburi-nya untuk mendapatkan nasehat dan pelajaran yang ada di dalamnya. Sebagaimana salah satu sifat Al-Qur’an adalah sebagai mau’izhah (nasihat; pelajaran). Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa:
“Hai sekalian manusia, telah datang kepada kalian mau’izhah dari Rabb kalian.” (Yunus: 57).
Demikian juga menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk dalam menempuh perjalanan menuju Allah, dan dalam rangka inilah Al-Qur’an diturunkan. .
FirmanNya:
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” (Al-Isra’: 9).
2. Setelah diimani dan diketahui hukum-hukumnya, maka kewajiban kedua adalah menjalankan perintah-perintah Al-Qur’an sekaligus menjauhi hal-hal yang dilarangnya, lalu menda’wah-kannya kepada seluruh ummat manusia. Hal itu dimulai dari diri sendiri, kemudian keluarga, dan seterusnya, walaupun hanya satu ayat yang diilmui. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat”. (HR. Al-Bukhari).
KEUTAMAAN TILAWAH DAN MEMPELAJARI Al-QUR’AN
1. Orang yang mempelajari, mengajarkan, dan mengamalkan Al-Qur’an termasuk insan yang terbaik, bahkan ia akan menjadi Ahlullah (keluarga Allah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya”. (HR. Al-Bukhari).
“Ahli Al-Qur’an adalah Ahlullah dan orang yang dekat dengan Allah”. (HR. An-Nasa’i, Ibnu Majah, Al-Hakim).

2. Mendapatkan Syafaat dari Al-Qur’an pada hari Kiamat..
“Bacalah Al-Qur’an, sesungguhnya ia akan datang pada hari Kiamat memberikan syafaat bagi pembacanya ”. (HR. Muslim, dari Abu Umamah Al-Bahili).

3. Shahibul Qur’an akan memperoleh ketinggian derajat di Surga.
Dikatakan kepada Shahibul Qur’an (di akhirat): “Bacalah Al-Qur’an dan naiklah ke Surga serta tartilkanlah (bacaanmu) sebagaimana engkau tartilkan sewaktu di tempat tinggalmu (di Surga) berdasarkan akhir ayat yang engkau baca.” (HR. Abu Dawud, dari Abdillah bin Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhumaa).
{Takhrij: Hadits ini dihasankan oleh Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin II/230, no.1001}

4. Orang yang membaca Al-Qur’an akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda.
Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa:
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karuniaNya.” (Al-Fathir: 29-30).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur’an) maka dia akan memperoleh satu kebaikan dan satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang semisalnya. Saya tidak menyatakan alif laam miim itu satu huruf, tetapi alif itu satu huruf dan laam satu huruf serta miim satu huruf.” (HR. At-Tarmidzi, Ad-Darimi dan lainnya; dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu).
{Takhrij: Hadits ini dishahihkan oleh Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin II/229, no.999}


Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang mahir membaca Al-Qur’an akan bersama para malaikat yang mulia, sedangkan orang yang membaca (Al-Qur’an) dengan terbata-bata dan mengalami kesulitan dalam membacanya, maka dia akan mendapatkan dua pahala. (HR. Muslim dalam Shahihnya dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha).

5. Sakinah (ketenangan) dan rahmat serta keutamaan akan diturunkan kepada orang-orang yang berkumpul untuk membaca Al-Qur’an.
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa untuk membaca Kitabullah (Al-Qur’an) dan mereka saling mempelajarinya kecuali sakinah (ketenangan) akan turun kepada mereka, majlis mereka penuh dengan rahmat dan malaikat akan mengelilingi (majlis) mereka serta Allah akan menyebutkan mareka (orang yang ada dalam majlis tersebut) di hadapan para malaikat yang di sisiNya.” (HR. Muslim).

6. Bacaan Al-Qur’an merupakan hilyah (perhiasan) bagi Ahlul Iman (orang-orang yang beriman).
“Perumpamaan orang-orang mukmin yang membaca Al-Qur’an laksana buah ‘Al-Utrujah’ (semacam jeruk manis) yang rasanya lezat dan harum aromanya, dan perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an ibarat buah At-Tamr (kurma) rasanya lezat dan manis namun tidak ada aromanya, dan perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Qur’an ibarat Ar-Raihanah (sejenis tumbuhan yang harum) semerbak aromanya (wangi) namun pahit rasanya, dan perumapamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an ibarat buah Al-Handhalah (nama buah) rasanya pahit dan baunya tidak sedap.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dari Abu Musa Al-As’ary radhiyallahu ‘anhu).

7. Orang yang berhak menjadi imam shalat adalah orang yang paling banyak hafalan Al-Qur’an dan luas pengetahuannya terhadap ilmu-ilmu Al-Qur’an.
“Orang yang paling berhak menjadi imam (dalam shalat) adalah orang yang paling pandai membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim).

8. Boleh hasad (iri) kepada orang yang ahli Al-Qur’an dan mengamalkannya.
Tidak boleh hasad kecuali kepada dua orang:
a. Sesorang yang dikaruniai Al-Qur’an oleh Allah Ta’ala, kemusian ia melaksanakannya di waktu siang maupun malam.
b. Seseorang yang dikaruniai harta oleh Allah, kemudian ia bershadaqah dengannya di waktu siang maupun malam.” (HR. Muslim).

9. Membaca dan memahami Al-Qur’an tidak bisa disamai kemewahan harta duniawi.
“Tidaklah salah seorang di antara kamu berangkat ke masjid untuk mengetahui atau membaca dua ayat dari Kitabullah lebih baik baginya daripada dua onta, dan tiga (ayat) lebih baik baginya daripada tiga (onta), dan empat (ayat) lebih baik baginya daripada empat (onta), begitu seterusnya sesuai dengan jumlah (ayat lebih baik) dari onta.” (HR. Muslim dari ‘Uqbah bin Amir).

10. Tilawah Al-Qur’an akan dapat melembutkan hati bagi pembacanya dan bagi orang yang mendengarkannya dengan baik.

ADAB-ADAB DALAM TILAWAH AL-QUR’AN
1. Mengikhlaskan niat untuk Allah semata. Karena tilawah Al-Qur’an termasuk ibadah, sebagaimana telah disebutkan pada keutamaan tilawah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya seluruh amalan itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari-Muslim).
2. Memilih tempat yang tenang dan waktunya pun pas, sehingga dapat menghadirkan hati (konsentrasi) dan jiwa lebih tenang ketika membaca, khusu’, tenang dan sopan, berusaha terpengaruh (terkesan) dengan yang sedang dibaca, dengan memahami (menghayati) atau memikirkan (tafakkur & tadabbur) maknanya sambil memohon Surga kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa bila terbaca ayat-ayat tentang Surga, dan berlindung kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa dari Neraka bila terbaca ayat-ayat tentang Neraka.
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman yang artinya:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Shaad: 29).

Dan di dalam hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: “… apabila Nabi terbaca ayat yang mengandung makna bertasbih (kepada Allah) beliau bertasbih, dan apabila terbaca ayat yang mengandung do’a, maka beliau berdo’a, dan apabila ayat yang bermakna meminta perlindungan (kepada Allah) beliau memohon perlindungan.” (HR. Muslim).

Sopan sebagai upaya memuliakan Kalam Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa, khusu’ atau memusatkan hati dan pikiran (konsentrasi) sebagai upaya mengambil hikmah yang terkandung pada ayat yang kita baca, menampakkan kesedihan dan menangis, ketika membaca ayat-ayat yang menceritakan adzab (siksa) neraka. Dan apabila tidak bisa maka berusahalah untuk menangis sejadi-jadinya.
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusu’.” (Al-Isra’: 109).

Ibnu Mas’ud berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku: ‘Bacakanlah Al-Qur’an kepadaku!’ Saya pun berkata: ‘Ya Rasulullah, apakah saya harus membacakan Al-Qur’an kepadamu, sedangkan Al-Qur’an diturunkan kepadamu?’ Maka beliau menjawab: ‘(Benar, akan tetapi) saya senang mendengrkan bacaan dari orang lain.’ Kemudian saya pun membaca surat An-Nisa’ sampai: ‘Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)’ (ayat 41). Maka tatkala saya melirik kepada beliau, atau ada seseorang menghalangiku lalu kuangkat kepalaku, saya melihat beliau meneteskan air mata.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya).

3. Hendaknya orang yang bertilawah dalam keadaan sudah berwudhu, suci pakaian dan badannya (tidak dalam keadaan hadats besar maupun hadats kecil) dan tempatnya (tempat haram atau dilarang, seperti di WC atau tempat-tempat yang tidak pantas untuk tilawah Al-Qur’an yang suci) serta telah menggosok gigi (bersiwak) untuk memuliakan Kalam Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.

4. Membaca do’a isti’adzah (berlindung kepada Allah Ta’alaa dari godaan setan) ketika hendak membaca Al-Qur’an.
Allah berfirman:
“Apabila kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (An-Nahl; 98).
Berlindung kepada Allah Ta’alaa, yakni membaca ‘A’udzubillahi minasy-syaithaanir-rajiim’ (sebagian ulama mewajibkannya). Kemudian membaca basmalah apabila membaca Al-Qur’an dari awal surat, kecuali surat At-Taubah.

5. Menghadap kiblat sebagai upaya untuk menghidupkan sunnah dalam bermajlis.


6. Membaguskan suara dengan tidak ghuluw (melewati batas), riya’ (agar dilihat orang), sum’ah (agar didengar orang) atau ujub (mengagumi diri sendiri).
“Perindahlah (bacaan) Al-Qur’an dengan suara kalian.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Nasa’i dan Hakim menshahihkannya) .
Tetapi jangan sampai seesorang mengeraskan bacaannya di dalam mushalla (masjid) sementara orang lain dalam keadaan shalat, karena hal ini terlarang.

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada suatu kaum sedang mereka sementara dalam keadaan shalat dan mengeraskan bacaannya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Setiap kalian bermunajat (berbisik-bisik) kepada Rabbnya, maka hendaklah ia memperhatikan apa yang dia pakai untuk bermunajat dan janganlah sebagian kalian mengeraskan bacaan (Al-Qur’an) kalian atas sebagian yang lain’.” (HR. Imam Malik dalam Al-Muwatha’: 1/80; Ibnu Abdil Barr berkata: “Ini adalah hadits shahih) .

7. Hendaknya membaca dengan sirri (pelan) apabila dikhawatirkan dapat menimbulkan riya’ atau sum’ah pada dirinya atau dapat mengganggu ketenangan dalam masjid (mushalla) sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Orang yang mengeraskan (dalam membaca) Al-Qur’an sama dengan menampakkan dalam bershadaqah.” (Minhajul Muslim, hal 71) .


Shadaqah yang dicintai adalah yang sembunyi-sembunyi, kecuali dalam keadaan tertentu yang berfaedah, misalnya untuk mendorong orang lain agar melakukannya.
8. Hendaknya membaca Al-Qur’an dengan tartil dan memperhatikan hukum-hukum tajwid, serta membunyikan huruf sesuai dengan makhrajnya. Bacaan dengan perlahan-lahan (tartil), bukan dengan cepat-cepat, akan membantu dalam tadabbur (memahami) maknanya.
“Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan tartil (perlahan-lahan).” (Al-Muzammil: 4).


“Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwa dia menyebutkan bacaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu (beliau) memutus-mutus bacaannya ayat per ayat (satu ayat-satu ayat).” (HR. Ahmad, 6/3020; Abu Dawud, 4001; Tirmidzi, 2927; dishahihkan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu, 3/333).


9. Hendaknya sujud, ketika membaca ayat-ayat yang mengisyaratkan sujud .
Hal ini dilakukan dalam keadaan berwudhu, di waktu siang maupun malam, dengan takbir di mana dalam sujudnya mengucapkan ‘subhaana rabbiyal a’laa’ (Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi) dan hendaklah berdo’a. Kemudian bangun dari sujud tanpa takbir dan salam. Syeikh Said bin Ali Wahf Al-Qathany, menyebutkan do’a sujud tilawah: “Sajada wajhiya lilladzii khalaqahu wasyaqqa sam’ahu bihaulihi waquwwatihi, fatabaarakallahu ahsanulkhaaliqiina” (Wajahku bersujud kepada Tuhan yang telah menciptakanku, yang memberi pendengaran dan penglihatanku, dengan daya dan upayaNya, Maha Suci Allah sebaik-baik pencipta) (HR. At-Tirmidzi, 2/474; Ahmad, 6/30; Hakim dan disetujui Ad-Dzahabi, 1/220).


10. Termasuk sunnah adalah berhenti membaca jika sudah mengantuk, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila salah seorang kamu bangun di malam hari, lalu lisannya merasa sulit membaca Al-Qur’an hingga tidak menyadari apa yang ia baca, maka hendaknya ia berbaring (tidur).” (HR. Muslim).
oleh : RochMad


TENTANG Sejarah Pemikiran Ekonomi Pra Islam

NO
NAMA
NPM
1
Amir Mahmud
13102174
2
Hero Tamo
13103054
3
Muid Sidik
13103594
No
Nama Tokoh
Keadaaan Ekonomi Pada Masa Arab Pra-Islam
Pendapat/Komentar Pemakalah


1.



























2.


-----------------
-























-------------------
































c-













Orang Arab badui menggantungkan sumber kehidupannya dari beternak. Dari berternak  mereka dapat mengonsumsi daging dan susu hasil ternaknya, membuat pakaian, kemah, dan perabot dari wol (bulu domba) serta menjualnya jika keperluan pribadi dan keluarganya sudah terpenuhi. Namun tidak hanya usaha ternak, masyarakat badui juga meningkatkan perekonomiannya dengan cara bertani, khususnya bagi masyarakat badui yang bertempat tinggal di daerah subur di sekitar Oas.









             Adapun orang Arab hadhari (perkotaan), terbagi menjadi dua. Penduduk yang bertempat tinggal di daerah subur seperti Yaman, Thaif, Madinah, Najd, Khaibar atau yang lainnya, mereka menggantungkan sumber kehidupan pada pertanian dan perdagangan. Namun mayoritas dari mereka menggantungkan sumber kehidupannya pada perniagaan.  Dan Penduduk yang bertempat tinggal di daerah gersang seperti Mekah. Mereka menggantungkan sumber kehidupanya dari perdagang.  Dan bahkan  Mekah sendiri merupakan  pusat perniagaan.  Hal ini dapat tarik kesimpulan bahwa dari sistem perekonomian, unsur penting yang menjadi andalan masyarakat Arab perkotaan pra Islam adalah perdagangan di samping bertani dan beternak. Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Terbukti dengan adanya Mekkah sebagai kota dagang internasional. Demikian ini karena letak daerah Hijaz, khususnya Mekkah, sangatlah strategis, yakni penghubung jalur dagang antara Yaman dengan Syiria. Di samping itu, daerah pesisir ini juga di lewati kapal-kapal dagang Eropa dan Asia melalui laut merah. Namun Sebagai pusat perdagangan, pada masa Jahiliyah transaksi riba merata di Semenanjung Arab. Bisa jadi mereka terjangkiti penyakit ini karena pengaruh orang-orang Yahudi yang menghalalkan transaksi riba dengan non Bani Israil.


Menurut kami sistem perekonomian pada waktu arab badui masih kurang baik, di karenakan  proses ekonomi pada  waktu itu masih sangat tradisional  dimana masyarakatnya masih menggantungkan sumber kehidupanya dengan berternak dan bertani saja. Dan pemanfaatkan sumber dari berternak dan bertani lebih di prioritaskan untuk kehidupan pribadi dan keluarganya dan baru menjualnya jika kebutuhannya dan keluarganya terpenuhi.  Sehinga pemenuhan kebutuhanya sangat terbatas. Mereka hanya bergantung dengan apa yang didaerahnya atau dari apa yang ia hasilkan saja.


Menurut kami sistem perdagangan orang Arab hadhari (perkotaan) pada waktu itu sudah sangat baik, dikarenakan sistem perekonomiannya sudah seperti di era moderen ini. Dimana sistem perdagangan bukan hanya sebuah perdagangan lokal saja melainkan sudah menjadi perdagangan internasional juga. Dalam Sehingga dalam pemenuhan kebutuhan tidak hanya bergantung dengan apa yang didaerahnya atau dari apa yang ia hasilkan saja. Melainkan dalam pemenuhan kebutuhanya sudah dapat terpenuhi dengan hasil dari daerah lain.Namun dari segilain kami sangat mengkritik maraknya  transaksi riba pada masa itu sehingga sistem perekonomian pada waktu itu menyebabkan orang yang kaya menjadi lebih kaya dan orang yang miskin menjadi lebih miskin. Dan hal ini sangat bertentangan dengan syariat-syariat islam, yang mana islam sendiri sangat mengharamkanya.