Minggu, 26 April 2020

Aku yang Terbuang



Aku sidiq  kayana sebuah nama yang indah memang namun  tak seindah hidup ku, aku adalah salah satu anak yang menurutku terlahir dengan keadan tidak berpihak sama sekali padaku. aku dii lahirkan oleh salah seorang yang malu akan kehadiranku sehingga aku terbuang diantara tumpukan sampah yang busuk. Hingga sekarang aku hanya tahu aku di urus oleh seseorang wanita gelandangan yang juga telah di renggut nyawanya 1 tahun yang lalu, kini aku teringat pada waktu itu wanita yang aku yakini sebagai ibu ku menceritakan segalanya padaku sebelum  kematianya.
Hingga suatu malam terasa sepi terdengar suara lalu lintas yang sesekali terlintas di permukaan jalan serta dipandu dengan gemercik air hujan tetesan hujan yang kian membasahi permukaan bumi. Kini hawa dingin seolah menyelimuti dunia kehidupan, dan aku duduk diantara teras toko tak bertuan dengan mengelar seutas kardus untuk menghilangkan setidaknya rasa dingin menyelimuti tubuhku, aku memikirkan sesuatu yang seolah sangat susah untuk di pecahkan, terkadang aku hanya bisa tertunduk seolah enggan menatap langit , terkadang sesekali menyanggah kepalaku dengan kedua tangan seolah leherku tak mampu menompangnya, terkadang berjalan kesana kemari seolah bimbang arah mana yang akan ku tuju. Dengan sedikit menghembuskan nafasku serta memejamkan mata berkatalah dalam hati ku “kenapa dengan ku Tuhan, kau renggut segalanya dariku, kmengapa harus aku” ucapku namun karena keletihan ku akhirnya aku mulai terlelap dan tersadar di suatu tempat yang sangat gelap dan terbisiklah sebuah kata “ karena aku sayang kamu”  . seketika aku terbangun dan tersadar apa maksud dari bisikan itu , aku mulai berjalan dari suatu tempat ketempat lain sesekali aku menghampiri tempat diaman aku terbuang dengan membawa sebuah kain sorban yang kata ibuku inilah satu-satunya bawaan dimana tempatku dibuang . aku kalungkan di antara leherku . hari demi harai serasa tak sedikitpun ada perubahan apa makna sayang dalam mimpiku apakah  itu hanya sebuah ungkapan atau itu hanyalah sebuah jawaban semu sebagai penghiburku sesaat. Namun aku tak bosan selalu mengunjug tempat ku terbuang samapai suatau ketika dalam lamunanku
Nak, siapa namamu? dan apakah ini sorban mu?” tanyanya padaku
Sidik tante, iya tante ini punyaku”  jawabku singkat
Usiamu berapa tahun nak” tanyanya kembali
“6 tahun tante” jawabku
Diaman ibumu nak” tanyanya kembali
Aku tak tahu tante kata orang yang merawatku  aku terbuang diantara tumpukan sampah ini” jawabku
 Sambil menangis aku melihat wajahnya terasa tampak kebahagiaan, namun terselip luka yang sangat mendalam sambil  mengenggam tangan ku, aku merasa bingung bercamour cemas kalau kalu ia akan bertindak jahat padaku, sambil duduk tersimpuh
Aku ibumu nak” tuturnya
Apa !!!! ibu, maksut tante” tanyaku heran
Iya aku ibumu nak, ibu yang sangat berdosa telah membuangmu di tempat hina ini”
Lalu kenapa tan,  apakah aku salah, hingga tante membuangku di tempat ini, atau tante malu atau kenapa” pertanyaan ku bertubi-tubi seolah meminta penjelasan darinya
“Sekali lagi maafkan aku nak, waktu itu orang tua ibu sangat malu memiliki anak haram karena ibu hamil di luar nikah”
“Bukankah semua itu kesalahan tante, bukan aku, lalu kenapa keburukan ini semua menimpaku tan, aku sudah sangt banyak menerima kenyataan pahit ini”  ujar ku dengan penuh kekecewaan
Satu hal yang perlu kau ingat nak ibu tak pernah sedikitpun bermaksut membuang mu” jelasnya
Lalu ini apa tan, tante telah membuangku”  tanyaku
“ Sebetulny ada alasan kuat mengapa ibu membuangmu nak, ibu hanya tidak ingin orag tua ibu berhasil meracuni mu nak, dan ibu tidak punya pilihan lain selain membuangmu’
Tapi bukan kah aku cucunya tan, kenapa dia tega melakukan itu” tanyaku
Begitulah manu sia nak ketika mereka hilaf maka mereka akan melakukan apa saja nak” jelasnya
Sambil mmemeluku terasa tetes demi tetes membasahi pipinya, seketika aku tersadar, bahwa hal yang paling  indah adfalah memaafkan, lagian ibuku melakukan ini semua semata-mata karena kebaikan ku, memang caranya salah, tapi setidaknya niatnya sudah baik. 
Sambil mencoba melepaskan pelukanya
“maafkan aku juga tan, selama ini aku telah berfikiran buruk tentang mu, aku berfikir kau tak mengiginkan kehadiran ku.
 Sambil memegang pipiku
Tolong nak panggil aku ibu” mintanya
Iya bu” ujarku
Sekali lagi nak” mintanya kembali
“Ibu” jawabku dengan polosnya
“Ikut lah dengan ibu nak , ibu akan menebus semua kesalahan ibu, dan akan membahagiakan mu, mau ya”
Lantas bagaimana dengan kakek, bukan kah ia akan meracuniku jika aku kembali”
“Kakekmu telah meninggal nak, dan di sebelum kematianya ia memintaku untuk mencarimu, dia tampak ber salah sekali, dan maafkan beliau ya nak” tutur ibu
 Aku tak mampu membalasnya hanya terdiam sebagai jawaban ku
Mau ya tinggal bersama ibu” ajaknya kembali
Aku hanya menjawabnya dengan sebuah isyarat anggukan kepalaku, di sela itu aku pun mulai mendeskripsikan arti sebuah mimpi yang pernah aku alami bahwa memang benar tuhan sangat sayang padaku, andai aku tidak terbuang mungkin aku telah meninggal oleh tangan tangan manusia khilaf yang berdosa.

Karya : Muid Sidik

Jumat, 24 April 2020

Cinta di Ujung Usia ( Sang Ibu) Part 1



Karya : Muid Sidik

"Bagun nak, Tolong jangan tinggalkan ibu sendirian" Ungkap wanita setengah baya sambil memegang tangan pemuda itu.
Sudah satu minggu ini Joni tidak sadarkan diri karena sakit kangker yang ia sembunyikan bertahun-tahun, tubuh yang kini kian kurus berwarna putih pucat sedang berbaring tak berdaya di rumah sakit. Sedangkan sangat ibu tak henti-hentinya menangis tanpa sedikitpun menyeka air matanya berharap Tuhan memberi keajaiban  pada putranya. Tangannya yang mulai keriput di padu dengan rambut hitam putih, duduk di samping putranya. Sesekali ia menggoyahkan tubuh anaknya agar segera terbangun dari komanya.
"Andaikan nak kau dari dulu terbuka soal penyakit mu ini ibu pasti akan merawatmu dengan baik" gumamnya.
Ibunya sebetulnya sudah mencurigai soal ini, sudah hampir satu tahun ini, ia melihat perubahan fisik yang begitu signifikan pada anaknya, tubuh yang kian kurus, pucat, dan selalu bereaksi kelelahan saat setelah bekerja, namun ketika ditanya, selalu saja Joni balas dengan senyum dan meyakinkannya bahwa dirinya tidak apa-apa.
Saat ini bagi ibunya adalah hal yang sulit mengingat tak ada lagi seseorang selain anaknya, suaminya telah wafat 2 tahun yang lalu, sedang sekarang ia hidup hanya mengandalkan sepetak kebun yang di tumbuhi pohon karet warisan suaminya itu pun hanya cukup untuk kehidupannya sehari-hari.
Hari ini ia ingin beranjak pulang memutar otak untuk mencari pinjaman, sebab uang yang kian menipis dan hanya cukup untuk keperluan hari ini.
Sesampainya di rumah ia seolah hilang rasa malunya, ia beranjak dari tetangga ke tetangga, meminta sekedar bantuan untuk pengobatan anaknya, atau setidaknya pinjaman untuk kesembuhan anaknya. Tapi hingga terik menjelang, saat kulit nya yang kian berkeringat ia tak kunjung mendapatkan, semua beralasan tidak memiliki uang.
Kemudian ia menimbang banyak hal, ia teringat bahwa tidak ada hal yang lebih berharga dari anaknya di dunia ini, hingga ia berada pada kesimpulan bahwa ia harus menjual kebunnya demi mendapatkan uang untuk membiayai perawatan anaknya.
Ia pun mendengar bahwa di tetangga kampung ada seseorang yang sangat kaya dan terkenal dengan sebutan juragan tanah. Ia pun beranjak kesana mengendarai sepeda motor bututnya.
" Hay, ibu ada yang bisa di bantu".
" Begini pak, saya mau menjual tanah untuk keperluan pengobatan anak saya"
" Boleh lihat surat-suratnya ibu? "
Dengan berat hati sebetulnya ia memberikan surat tanah itu, sebab almarhum suaminya sempat berwasiat untuk tidak menjualnya, tapi dalam hati juga ia hanya dihadapkan dengan dua pilihan mempertahankan anaknya atau kebunnya, sudah tentu ia mempertahankan anaknya.
" Di jual berpa ini buk?"
"50 juta bagaimana pak"
" Ah, kalau mau buk 25 juta"
Seketika kring kring kring, bunyi handphone judulnya berbunyi.
" Maaf Pak permisi sebentar "
Dengan isyarat anggukan juragan tanah mengiyakan.
" Halo ibu dengan ibu masinah,"
" Iya saya bu, bagaimana buk"
" Ini anak ibu sudah siuman, dokter mengatakan ada keajaiban buat anak ibu untuk bisa sembuh namun butuh perawatan VVIP, namun membutuhkan uang yang lumayan, bagaimana ibu"
" Siap buk, saya akan segera kesana membawa uangnya"
Kemudian handphone mati, ia kembali ke juragan tanah, tak ada hal yang lebih penting hari ini selain anaknya. Meski penawaran harga kebun di bawah harga pasaran yang ada.
" Baik pak, saya jual pak demi anak saya, tapi saya minta uangnya hari ini ada ya pak"
" Baiklah ibu"
Ia kemudian beranjak kerumah sakit dengan sekantung kresek hitam berisi uang, dengan terburu-buru sebab ia ingin sekali melihat bagaimana keadaan anaknya. Sampai di persimpangan jalan.
" Darrrrrrrr..... Bunyi benturan keras.
Seketika semua gelap seolah dunia ini tanpa penerangan.
" Saya dimana? "
"Ini Joni bu, Ibu di rumah sakit bu, sudah 2 hari ini ibu tidak sadarkan diri"
" Kenapa begitu gelap nak?, tolong nak lampunya dinyalakan"
Dengan isakan tangis Joni menjawab.
"Iya ibu, nanti Joni nyalakan, meski Joni sebenarnya sadar bahwa mata ibunya telah rusak akibat hantaman dengan mobil itu.
Seketika ibunya mulai tersengal2 nafasnya.
" Nak, sebelum ibu pulang, ibu ingin bicara beberapa hal"
" Ibu jangan bicara seperti itu bu?"
"Nak, setiap jiwa yang hidup pasti mengalami kematian, dan mungkin hari ini saatnya giliran ibu, ibu hanya ingin berpesan nak, uang hasil penjualan kebun tolong manfaatkan dengan baik untuk kesembuhan mu, dan bila tersisa buatlah usaha agar kau tetap bisa melangsungkan kehidupan mu"
Seketika.
"La ilaha illallah"
" Ibu,.... Bangun bu, Joni dengan siapa nanti bu"
"Ibu............!!!!!!!!!!!! "


Tersesat Dalam Hujan

Karya :Muid Sidik 
        Dalam keheningan, sayup-sayup angin menyapa hari kulit yang perlahan mulai menggigil, sedang air hujan tak kunjung reda di atas sana, suara gemircik air yang di pandu dengan bising kendaraan yang berlalu lalang, keadan hati semakin kacau tatkala lampu penerang sengaja dimatikan. “Sial, Pelit sekali Engkau”. Gumam Reni Ia mulai menyalakan handphone yang sedari tadi berdering meminta untuk di isi kembali. Sambil menunggu ia menatap gugusan lantai yang tercetak indah tempat ia bernaung, bermotif kilau dipandu dengan warna hijau di tiang teras, sangat kontras dengan warna tembok yang berwarna merah sepusar dan putih selebihnya.
 “Sebetulnya indah numun tak seindah prilaku pemiliknya,” Gumam Reni kembali.
       Ia mulai kesal kala ia mendengar suara televisi yang dinyalakan dengan keras, seakan tak ada kata manusia yang layak di tuju untuk sang tuan rumah ini. Terlebih ia mulai menggigil kedinginan sebab hujan yang bercampur angin mulai membilas wajahnya, sesekali ia mengusap dengan kain jilbab diantara lehernya. Ia mulai cemas kala batrai handphonenya mulai kritis.
 “Ah sial sekali, Tuhan kapan kau sudahi air mata langit ini !!!” dengan menengadahkan tangan ia berucap. Ia mulai teringat dengan nasehat orang tuanya yang tidak memperbolehkanya untuk keluar rumah, namun ia tetap memaksakan diri, bahkan ia sempat mengancam untuk tidak berangkat kesekolah di esok hari apabila ia tidak diizinkan untuk pergi. Perlahan ia sadar mungkin ini karma dari dari tindakanya. Waktu kian malam sedang suasana semakin sepi, sebab sang rumah sekan sudah tak berpenghuni, hanya suara dering jangkrik dipadu dengan nada sumbang suara katak.
“Apakah aku nekat saja ?”, gumam dalam hatinya.
      Ia mulai menghampiri motor yang sedari tadi basah kuyup, tampak tak ada rongga sedikitpun yang kering. Semua basah terpaksa ia gunakan kain baju untuk membersihkan sedikit jok motornya, kemudaian ia mulai menyalakan, namun sudah puluhan kali ternyata tak sedikitpun tampak tanda-tanda hidup, sedang seluruh badanya telah basah kuyup. Kembali ia di posisis semula menunggu reda dan berharap ada pertolongan tuhan yang datang, saat ia termenung ia tersadar ada sorot lampu dengan segerombolan pemuda yang berjalan menggunakan jubah di barat sana,
"Ya Tuhan cobaan apa lagi ini" gumamnya.
     Ia mulai mencari perlindungan, sebab ia takut bila segrombolan pemuda itu bukan orang baik-baik justru akan mengancam nyawanya atau bahkan harga dirinya. Kemudian Ia bersenbunyi dibalik tiang teras yang sedari tadi tempatnya bersandar. Perlahan mulai mendekat, segerombolan pemuda itu ternyata berjumlah 4 orang, tampak ada suara yang kukenal dan sesekali ia memangil-mangil namanya.
“Reni, Ren kamu dimana Ndok?” Teriak salah satu pemuda.
Tak salah lagi itu suara abang Joni, kakak kandungku satu-satunya. Dan ternyata ia mambawa 3 sahabat karibnya.
“Iya Bang Aku disini?” Sahut Reni
“Alhamdulilah Ndok, Ibu sampai nagis dirumah menunggu kau tak pulang-pulang” Jawab Joni
“Iya bang motor Reni mati Bang”
 “Baiklah ayo segera pulang, biar motor Reni di urus sama kawan kawan Abang, yang terpenting Ibu bisa lega sekarang kau telah ditemukan”.


Pertanyaannya pesan apa yang anda tangkap dalam tulisan diatas komen di kolom komentar di bawah ?

Senin, 20 April 2020

Fiksi Mini (Gadis Penjual Sayur)

Di pagi yang cerah. Tepat di keramaian pasar aku melihat gadis bermuka manis berwarna sawo matang. Duduk berdampingan dengan sang ibu. Menjajakan beberapa ikat sayur yang tertata rapi bak pasukan perang. dengan mimik muka yang terlihat anggun. Ia menawarkan setiap jualanya lewat mulut tipisnya. "Pak sayaurnya pak, bu sayurnya bu." Tampak Tak letih mulut manisnya berucap. Sorot mata yang sesekali kekanan dan sesekali kekiri, melihat lalu-lalang orang yang datang dan pergi.  Tetesan keringat seakan menghiasi setiap perjuanganya, mengkilap indah terpancar sinar matahari. Namun yang semakin menarik hatiku. Ia  Tersenyum manis serta ramah dalam setiap tutur katanya terlebih ia bingkai semua itu dengan hijab coklat sebagai penghias kepalanya. Aku tak kuasa sebetulnya untuk memebeli seikat atau dua ikat sayurnya. Yah sekedar berkenalan. Tapi dalam benakku untuk apa? Akukan anak rantau. Yang tinggal di kamar kecil tak berdapur. Makanan pun aku beli dengan instan. Memang tak mungkin kan aku membelinya. Dalam lamuanan ku aku mencoba menyadarkan perasaan ku. Terlebih terik mentari yang semakin panas memaksa langkah kaki ku  mencoba untuk menjauhinya. Tapi aku seakan tak mau beranjak. Aku paksa mataku tak menatap dan terpejam. Seketika "Tin, tin" suara bel motor menyadarkanku. Yang membuatku semakain tersadar. Aku melihat tatapan mata yang seakan ingin keluar dari klopak matanya. Tanganya yang kekar menunjuk padaku " Hei jalan pakai mata. Kau tak punya mata kah" . Aku hanya menelengkup kedua tanganku isyarat minta maaf kepadanya. ia pun lantas berlalu. Namun aku masih berdiri mencarai gadis manis yang duduk berdampingan dengan sang ibunya. Namun sedikitpun aku tak melihat. Hingga kini pandangan mata ku putar 180 derajat pun aku tak melihatnya. Dalam hati, aku bergumam " Ia sesungguhnya nyata atau sekedar ilusi" Oleh : Muid Sidik